Menu

gerpi / Blog: Recent posts

DASAR DASAR PERJUANGAN KEMERDEKAAN PAPUA BARAT

Mengapa rakyat Papua Barat ingin merdeka di luar Indonesia?
Mengapa rakyat Papua Barat masih tetap meneruskan perjuangan mereka?
Kapan mereka mau berhenti berjuang?
Ada empat faktor yang mendasari keinginan rakyat Papua Barat untuk memiliki negara sendiri yang merdeka dan berdaulat di luar penjajahan manapun, yaitu:

  1. hak
  2. budaya
  3. latarbelakang sejarah
  4. realitas sekarang

ad 1. Hak
Kemerdekaan adalah »hak« berdasarkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration on Human Rights) yang menjamin hak-hak individu dan berdasarkan Konvenant Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin hak-hak kolektif di dalam mana hak penentuan nasib sendiri (the right to self-determination) ditetapkan.
»All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development - Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Atas dasar mana mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas melaksanakan pembangunan ekonomi dan budaya mereka«
(International Covenant on Civil and Political Rights, Article 1). Nation is used in the meaning of People (Roethof 1951:2) and can be distinguished from the concept State - Bangsa digunakan dalam arti Rakyat (Roethof 1951:2) dan dapat dibedakan dari konsep Negara (Riop Report No.1). Riop menulis bahwa sebuah negara dapat mencakup beberapa bangsa, maksudnya kebangsaan atau rakyat (A state can include several nations, meaning Nationalities or Peoples).
Ada dua jenis the right to self-determination (hak penentuan nasib sendiri), yaitu external right to self-determination dan internal right to self-determination.
External right to self-determination yaitu hak penentuan nasib sendiri untuk mendirikan negara baru di luar suatu negara yang telah ada. Contoh: hak penentuan nasib sendiri untuk memiliki negara Papua Barat di luar negara Indonesia. External right to self-determination, or rather self-determination of nationalities, is the right of every nation to build its own state or decide whether or not it will join another state, partly or wholly (Roethof 1951:46) - Hak external penentuan nasib sendiri, atau lebih baiknya penentuan nasib sendiri dari bangsa-bangsa, adalah hak dari setiap bangsa untuk membentuk negara sendiri atau memutuskan apakah bergabung atau tidak dengan negara lain, sebagian atau seluruhnya (Riop Report No.1). Jadi, rakyat Papua Barat dapat juga memutuskan untuk berintegrasi ke dalam negara tetangga Papua New Guinea. Perkembangan di Irlandia Utara dan Irlandia menunjukkan gejala yang sama. Internal right to self-determination yaitu hak penentuan nasib sendiri bagi sekelompok etnis atau bangsa untuk memiliki daerah kekuasaan tertentu di dalam batas negara yang telah ada. Suatu kelompok etnis atau suatu bangsa berhak menjalankan pemerintahan sendiri, di dalam batas negara yang ada, berdasarkan agama, bahasa dan budaya yang dimilikinya. Di Indonesia dikenal Daerah Istimewa Jogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh. Pemerintah daerah-daerah semacam ini biasanya dilimpahi kekuasaan otonomi ataupun kekuasaan federal. Sayangnya, Jogyakarta dan Aceh belum pernah menikmati otonomi yang adalah haknya.... read more

Posted by pihaihenews 2011-12-24 Labels: sejarah paua

perencanaan

Sistem Perencanaan, Keserasian Kebijakan,
dan Dinamika Pelaksanaan Otonomi Daerah

Kebijakan perimbangan keuangan dan desentralisasi kewenangan kepada Daerah Kabupaten/ Kota yang luas, nyata, dan bertanggung jawab sebagai wujud dari pelaksanaan otonomi daerah telah melahirkan tantangan tersendiri di bidang perencanaan pembangunan, baik pada tingkat Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten dan Kota. Di antara berbagai tantangan tersebut, yang cukup krusial adalah masalah ketidakseimbangan ketersediaan sumber-sumber antar daerah yang dihadapkan pada tuntutan terwujudnya peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi yang berkeadilan di seluruh daerah. Hal tersebut menjadi terasa lebih krusial, karena sumber-sumber yang dimiliki Pusat dengan berlakunya kebijakan perimbangan keuangan dan desentralisasi kewenangan tersebut cenderung relatif mengalami penurunan. Dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, sistem perencanaan di samping harus mampu mendayagunakan pemanfaatan sumber-sumber yang tersedia secara optimal, juga adalah mengembangkan kebijakan-kebijakan yang inovatif yang mendorong transformasi ekonomi daerah berbasis sumber daya setempat. Dalam hubungan itu, perlu senantiasa diingat bahwa fungsi seorang perencana adalah mengembangkan langkah-langkah kebijakan inovatif guna mewujudkan perkembangan masa depan yang lebih baik, termasuk pengembangan sistem pembiayaan alternatif; bukan hanya melakukan langkah-langkah rutin apalagi yang mendatangkan keaiban. Fungsi sistem perencanaan adalah melakukan antisipasi per-kembangan ke depan serta memberikan alternatif langkah yang harus ditempuh guna mencapai kondisi yang diharapkan atau pun untuk mencegah perkembangan yang tidak diinginkan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat bangsa. Untuk itu lembaga-lembaga perencanaan Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, harus saling menunjang; dan dapat mengembangkan langkah-langkah kebijakan yang serasi dan saling memperkuat. Sekarang ini merupakan momentum bagi para perencana untuk membuktikan bahwa “teknik dan manajemen perencanaan pembangunan” (TMKP) mempunyai makna dalam mengatasi masalah-masalah bangsa, dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa ber-NKRI.
Dewasa ini perencanaan pembangunan menghadapi tantangan berat, bukan saja karena perkembangan lingkungan stratejik domestik dan internasional menghadapkan batasan-batasan terhadap kiprah perencanaan dalam mendorong pembangunan masa depan yang lebih baik; tetapi juga berkembang anggapan bahwa lembaga perencanaan pembangunan tidak diperlukan, karena keberadaannya selama ini hanya memperpanjang jalur alokasi sumber-sumber yang bukan merupakan tanggung jawabnya yang hakiki, dan telah menimbulkan dampak negatif dalam peningkatan efisiensi anggaran. Dan dikala masyarakat mengharapkan manajemen pemerintahan dapat mengembangkan kebijakan yang efektif dalam mewujudkan pemulihan perekonomian dan mendorong bangkitnya kembali pembangunan di seluruh tanah air, perencanaan pembangunan belum juga menggemakan suatu irama yang membangkitkan.
Ungkapan di atas menggambarkan tantangan-tantangan tidak ringan yang harus dihadapi dan dijawab perencanaan pembangunan dewasa ini dan di masa datang. Inti dari permasalahannya adalah “perubahan dalam sistem dan proses serta kinerja perencanaan pembangunan” sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang manajemen pemerintahan, dan dengan tantangan perkembangan dan kondisi lingkungan stratejik internal dan eksternal yang dihadapi bangsa. Perencanaan pembangunan menghadapi tuntutan untuk dapat bersikap lebih arif dalam menawarkan langkah-langkah kebijakan, baik dalam menghadapi berbagai peluang dan kendala yang ada, dalam mengembangkan iklim dan perkembangan kondusif bagi perubahan kondisi yang diharapkan dan bagi terwujudnya kemajuan-kemajuan yang diinginkan, maupun dalam mendayagunakan potensi riil yang tersedia pada negara dan masyarakat bangsa. Perencanaan sebagai bagian dari fungsi manajemen pemerintahan, apabila dapat memenuhi persyaratan bagi dan dapat membuktikan bahwa kehadiran dan kiprahnya dapat lebih memantapkan terselengggaranya manajemen pemerintahan yang baik (good governance), tentunya masih sangat diperlukan dan legitimate. Demikian pula halnya dengan lembaga-lembaga perencanaan, baik pada tingkat Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota, keberadaannya masih diperlukan untuk mewadahi berbagai kegiatan perencanaan pembangunan dalam berbagai sektor, lembaga, dan kawasan yang perlu dilakukan secara sistematis, terkoordinasi, dan berkesinambungan. Sebagai bagian dari sistem manajemen pemerintahan yang dituntut publik untuk menunjukan akuntabilitasnya, perencanaan pembangunan harus senantiasa mengindahkan dan dapat membuktikan kredibilitasnya dalam membumikan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Sementara itu, dalam suasana yang sering dihinggapi ketidakpastian perkembangan internal dan eksternal dewasa ini, apakah akibat perubahan pola hubungan kelembagaan dan kewenangan desentralisasi dalam kehidupan nasional atau pun karena fluktuasi perkembangan ekonomi dan keuangan dalam perekonomian internasional yang juga mempengaruhi aktivitas lokal, fungsi perencanaan adalah memberikan gambaran obyektif mengenai perkembangan yang terjadi atau pun mungkin terjadi dan tawaran langkah-langkah yang lebih pasti ke arah pemantapan pemulihan ekonomi dan terselenggaranya kembali pembangunan bangsa di seluruh sektor, kawasan, dan wilayah negara.
Kompleksitas dan dinamika perencanaan pembangunan semakin mengemuka pada era Otonomi Daerah yang dewasa ini ditandai dengan pelimpahan kewenangan yang besar kepada Daerah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Daerah. Dengan perkataan lain, kewenangan yang luas dan nyata dalam “mengatur dan mengurus” masalah-masalah pemerintahan dan pembangunan Daerah telah dilimpahkan Pusat kepada Daerah Kabupaten dan Kota telah menimbulkan tantangan tersendiri yang perlu mendapatkan perhatian dalam perencanaan pembangunan. Dalam hubungan itu timbul pertanyaan mengenai peran yang perlu dilakukan, atau tugas dan fungsi yang harus diemban oleh sistem perencanaan nasional pada tingkat Pusat dan Provinsi dalam menghadapi dinamika perencanaan pembangunan daerah Kabupaten dan Kota, selaras dengan hak dan tanggung jawab, serta kewenangannya masing-masing.
Ada baiknya dalam hubungan ini diperhatikan posisi dan peran perencanaan pembangunan dalam keseluruhan konstelasi sistem dan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang berlaku dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI). Sebagai wahana perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan suatu bangsa dalam bernegara, pengembangan setiap sistem administrasi negara didasarkan pada konstitusi negara bangsa bersangkutan. SANKRI didasarkan pada dan merupakan penjabaran dari UUD 1945, dan setiap sistem kelembagaan di dalam SANKRI termasuk bidang perencanaan pembangunan berkewajiban mengemban misi perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan NKRI.
UUD 1945 menegaskan bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, berbentuk negara kesatuan dengan sistem dan proses kebijakan yang mengakomodasikan peran masyarakat yang luas (terbuka, partisipatif, dan akuntabel). Pengambilan keputusan politik yang stratejik seperti GBHN dan kebijakan-kebijkan lainnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, itu dilakukan bersama secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan [MPR, DPR(D)] sebagai representasi rakyat bangsa dari dan di seluruh wilayah negara yang terbagi atas daerah besar (Provinsi) dan kecil (Kabupaten/Kota, dan Desa) dengan kewenangan-kewenangan otonomi tertentu. Berbagai kebijakan pemerintahan tersebut kemudian dituangkan dalam peraturan perundangan tertentu (Ketetapan MPR, UU, PP, Perpu, Keppres, dan Perda. UU, PP, dan Perda tentang susbstansi masalah publik tertentu ditetapkan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan DPR(D), dan pelaksanaannya harus dilaporkan dan dipertanggungjawab-kan kepada publik. Sebagai kebijakan yang dikembangkan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa untuk mencapai tujuan bernegara, keseluruhannya harus terjaga keserasian dan keterpaduannya satu sama lain. Dari sini kita melihat dimensi penting dalam SANKRI yaitu “kepastian hukum, demokrasi, kebersamaan, partisipasi, keterbukaan, desentralisasi kewenangan serta pengawasan dan pertanggungjawaban”. Melekatnya berbagai dimensi konstitusional tersebut dalam SANKRI dimaksudkan agar kita dapat berjalan lurus dan mantap dalam mengemban perjuangan bangsa dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan NKRI.
Semua itu menunjukan komitmen kuat dari konstitusi negara kita terhadap nilai dan prinsip kepemerintahan yang baik (good governance, GG), suatu pemerintahan yang amanah; dan merupakan amanat para founding fathers bangsa dan negara ini kepada generasi kini dan mendatang untuk mewujudkannya dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, di pusat dan daerah. Sebagaimana kita ketahui, nilai dan prinsip dasar yang menandai GG secara universal antara lain adalah “kepastian hukum, transparansi, partisipasi, profesionalitas, dan pertanggungjawaban (akuntabilitas)”; yang dalam konteks nasional perlu ditambahkan dengan nilai dan prinsip “daya guna, hasil guna, bersih (clean government), desentralisasi, kebijakan yang serasi dan tepat, serta daya saing”.
Keseluruhan nilai dan prinsip GG tersebut merupakan dimensi operasional yang melekat dalam SANKRI. Di dalamnya terdapat nilai dan prinsip desentralisasi sebagai essensi otoda yang telah dikembangkan bukan saja merupakan nilai dan prinsip yang secara inhaerent dianut UUD 1945 seperti ditetapkan pada Pasal 18 beserta penjelasannya tetapi juga sebagai responsi terhadap perkembangan lingkungan stratejik nasional dan internasional.
Penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan pembangunan yang terarah pada perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat di seluruh wilayah tanah air mensyaratkan berkembangnya otonomi daerah. Agar perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara dapat tercapai secara optimal di seluruh daerah, Otoda dalam SANKRI mengimperasikan hak, kewajiban, dan tanggung jawab ataupun kewenangan tertentu pada pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus “rumah tangga (pemerintahan dan pembangunan)” daerah; namun untuk bidang-bidang tertentu terdapat kewenangan pusat yang tidak dapat didesentralisasikan kepada daerah. Sejalan dengan itu, setiap daerah dalam rangka penyelenggaraan otoda perlu memperhatikan sasaran, (1) meningkatkan kapabilitas dan kesejahteraan rakyat daerah, (2) meningkatkan prakarsa, kreativitas, dan peranserta masyarakat di daerah, dan (3) menjaga keserasian hubungan antar daerah dan antara Pusat dan Daerah, termasuk keserasian kebijakan dalam dan antar daerah, serta antara kebijakan nasional dan daerah. Hal serupa perlu mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dari pemerintahan pusat.
Otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos dan nomos (Webster’s Student Dictionary of English Language). Autos artinya sendiri, sedangkan nomos berarti hukum atau aturan. Sebagai istilah, pengertian otonomi autos nomos atau autonomous dalam bahasa Inggris menurut kamus tersebut adalah kata sifat yang berarti: (1) keberadaan atau keberfungsian secara bebas atau independen (functioning or existing independently); dan (2) memiliki pemerintahan sendiri, sebagai negara atau kelompok dan sebagainya (of or having self-government, as a state, group, etc.). Sedangkan pengertian otonomi (autonomy) sebagai kata benda (noun) adalah (1) keadaan atau kualitas yang bersifat independen, khususnya kekuasaan atau hak memiliki pemerintahan sendiri (the power or right of having self-government); dan atau (2) negara, masyarakat, atau kelompok yang memiliki pemerintahan sendiri yang independen (a self-governing state, community or group).
Beranjak dari rumusan pengertian otonomi tersebut dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah secara ringkas adalah daerah yang menyelenggarakan pemerintahan sendiri, atau daerah yang memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat atau independen. Dalam konteks Indonesia pengertian independen atau bebas atau berdaulat inilah barangkali yang tidak diinginkan, karena akan berkonotasi adanya negara didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Professor Bagir Manan (1993) misalnya menyatakan bahwa: “Otonomi dicurigai memiliki ‘cacat alami’ yang senantiasa mengancam kesatuan”. Menurutnya hal itu dapat dipahami, karena kurangnya pemahaman yang tepat, atau karena pengalaman masa lalu yang diwarnai berbagai peristiwa pemberontakan yang mengarah kepada disintegrasi nasional.
Oleh sebab itu di Indonesia pada dasarnya dianut pemahaman otonomi daerah yang bersifat administratif, yaitu kebebasan untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan sendiri yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANKRI). Dengan demikian dalam konteks Indonesia, pengertian Otonomi Daerah menunjukkan hubungan keterikatan antara daerah yang memiliki hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan kesatuan yang lebih besar yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan berarti daerah otonom yang merdeka dan berdiri sendiri bebas dari ikatan dengan NKRI.
Hal tersebut antara lain dijelaskan oleh Professor Bagir Manan (1993:2) – yang mendefinisikan otonomi daerah sebagai “kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfstandigheid) satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan” – bahwa kebebasan dan kemandirian itu adalah dalam ikatan kesatuan yang lebih besar (NKRI), karena dalam teori negara kesatuan, otonomi adalah subsistem dari Negara Kesatuan.
Dengan demikian dalam SANKRI, masing-masing satuan pemerintahan baik pusat maupun daerah bertanggung jawab untuk kelangsungan dan kesuksesan perjuangan mewujudkan cita-cita bangsa dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hubungan itu setiap daerah diharapkan dapat memberikan kontribusi berarti dalam mencapai cita-cita dan tujuan luhur bangsa dan negara. Untuk itu kepada daerah dilimpahkan kewenangan untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah pemerintahan dan pembangunan daerah. Sedangkan pemerintahan pusat berkewajiban mengembangkan kebijakan, norma, standar, dan prosedur yang memungkinkan optimalitas karya dan kinerja daerah dalam memikul tanggung jawab pemerintahan negara dan pembangunan pada masing-masing daerah. Sebagaimana kita ketahui, berbagai hal tersebut telah diakomodasikan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, serta berbagai aturan pelaksanaannya.
Dengan semangat demikianlah perlu kita pahami arti dan implikasi Pasal 70 dan Pasal 7 ayat (1) dan (2) dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Pasal 70 menetapkan bahwa Perda tidak boleh bertentangan dengan aturan perundangan yang lebih tinggi, dan kewenangan Pusat dalam bidang-bidang seperti ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) tidak menutup kemungkinan Daerah untuk mengembangkan langkah-langkah kebijakan yang realistis dan rasional sesuai kondisi dan aspirasi daerah; namun tetap mengacu pada pedoman yang ditetapkan secara nasional, termasuk dalam bidang perencanaan pembangunan. Pedoman tersebut mestinya berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat mewujudkan keserasian dan keterpaduan antar berbagai kebijakan daerah dan antara kebijakan nasional dan daerah, agar dihasilkan kinerja dan manfaat yang optimal (teknis dan sosial) bagi perkembangan dan kemajuan daerah dan antar; dan akhirnya bermakna bagi kepentingan seluruh masyarakat bangsa di seluruh wilayah nusantara, bumi pertiwi tercinta.
Dalam hubungan perencanaan pembangunan, hal itu mempunyai makna bahwa lembaga-lembaga perencanaan pembangunan daerah memiliki degree of freedom tertentu untuk mengembangkan dan menawarkan rencana kebijakan yang bersasaran mengoptimalkan pemanfaatan keunggulan komparatif dan peningkatan keunggulan kompetitif yang ada di daerah. Dengan skim kebijakan seperti itulah terentang tantangan-tantangan luas untuk mengembangkan potensi-potensi lokal melalui pengembangan berbagai langkah kebijakan inovatif yang dapat mendorong akselerasi perkembangan dan pembangunan daerah. Secara implisit hal itu juga mengandung arti bahwa relokasi sumber-sumber dari sesuatu daerah ke daerah lain akan mendorong perkembangan di daerah bersangkutan, yang pada gilirannya akan meningkatkan permintaan efektif dari daerah tersebut serta mendorong arus permintaan pada daerah satunya, sehingga terjadi peningkatan kemajuan pada kedua daerah. Secara eksplisit hal itu juga mengandung makna bahwa diperlukan kerja sama antar daerah yang baik, perkiraan biaya dan manfaat yang tepat, manajemen yang profesional, dan ditunjang sistem kelembagaan yang mantap dengan mengindahkan prinsip-prinsip good governance atau pun good corporate governance, baik dalam pengelolaan kerja sama antar organisasi publik, maupun antara organisasi publik dan dunia usaha yang ada di tengah masyarakat.
Dari catatan di atas tersurat dan tersirat pentingnya relokasi sumber-sumber bagi perkembangan antar daerah yang mendatangkan kemajuan bagi seluruh daerah. Dalam hubungan ini perlu dicatat pula pentingnya alokasi anggaran (budget allocation) untuk meningkatkan pelayanan publik, pengentasan kemiskinan, penanggulangan pengangguran, pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah, serta untuk mendorong perkembangan daerah. Semua itu dikembangkan dengan semangat (= sasaran, langkah-langkah kebijakan dan kegiatan) meningkatkan pemanfaatan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif daerah. Dalam hubungan itu perlu diingat, bahwa desentralisasi menekankan “besarnya tanggung jawab” kepada para penyelenggara pemerintahan, baik yang berada pada lembagan eksekutif, mau pun yang berada pada lembaga legislatif dan yudikatif, serta kepada masyarakat pada umumnya, untuk “mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah serta hubungan pusat dan daerah secara baik dan efektif”. Dasar dari pelimpahan kewenangan tersebut adalah keyakinan bahwa efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah oleh daerah akan mencapai tingkat yang lebih tinggi, lebih baik, dan lebih bertanggung jawab. Dengan desentralisasi diharapkan akses terhadap pelayanan, pengelolaaan pelayanan, dan tingkatan partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sebagai wujud kehidupan dan budaya demokrasi dapat berkembang secara lebih efisien dan lebih baik. Apabila perkembangan dalam realita menunjukan hal-hal yang sebaliknya dan tidak diperbaiki secepatnya, maka kepercayaan rakyat terhadap demokratisasi dan desentralisasi - yang tengah berlangsung sekarang ini - akan menurun dan semakin memburuk.
Dalam hubungan itu perlu dipenuhi berbagai persyaratan yang diperlukan agar sistem dan proses penyelenggaraan otonomi berjalan baik dan berhasil mencapai kinerja yang sesuai dengan cita-cita dan tujuan penyelenggaraan otonomi daerah”. Di antara berbagai persyaratan tersebut, termasuk yang termuat dalam prinsip-prinsip good governance, seperti transparansi, partisipasi, profesionalitas, dan akuntabilitas. Hal tersebut pada esensinya berfokus pada “penguasaan pengetahuan, keariefan, kejujuran, moralitas, keterbukaan, dan integritas dalam mengemban amanat republik, dalam upaya memenuhi kepentingan publik, dalam kesiapan memberikan pertanggungjawaban dan akuntabilitas kinerja di hadapan publik”.
Perencanaan pembangunan berkewajiban untuk memberikan alternatif-alternatif keputusan terbaik kepada seluruh stakeholders pemerintahan dan pembangunan di daerah, agar kewenangan “mengatur dan mengurus” masalah-masalah pemerintahan dan pembangunan daerah oleh daerah itu berjalan secara lebih baik; lebih rasional dan realistis, lebih efisien dan efektif. Keterkaitan antar perencanaan makro dan mikro baik dalam pengertian sektoral dan lintas sektor, mau pun dalam pengertian satuan wilayah dan antar wilayah, harus jelas skenario dan proyeksinya, serta terukur biaya dan manfaatnya. Harus jelas pula siapa, di mana, memikul beban atau biaya apa, dan bagaimana distribusi manfaat dari kebijakan, program, atau pun kegiatan yang direncanakan. Perencanaan pembangunan memikul tanggung jawab pelaksanaan fungsi manajemen pemerintahan dan pembangunan, dari penyiapan kebijakan sampai dengan pertanggungjawaban kinerja kebijakan-kebijakan pembangunan yang ditetapkan. Ilmu pengetahuan si bidang teknik dan manajemen perencanaan pembangunan (TMPP) memungkinkan perencana pembangunan memikul kewajiban dan tanggung jawab tersebut dengan sebaik-baiknya.
Desentralisasi dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI) berarti pelimpahan kewenangan pusat “dalam mengatur dan mengurus masalah-masalah pemerintahan dan pembangunan daerah” kepada daerah, kepada pemerintahan dan masyarakat daerah, yang ditujukan pada perwujudan cita-cita dan tujuan NKRI di daerah, pada terwujudnya masyarakat “adil makmur” di seluruh daerah.
Sebab itu, pada Undang-undang Nomor 22 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 terdapat prinsip-prinsip pelimpahan kewenangan sebagai berikut: (1) pada dasarnya semua kewenangan pemerintah diserahkan kepada daerah, kecuali bidang pertahanan dan keamanan, politik luar negeri, moneter dan fiskal, peradilan, agama serta kewenangan pemerintah lainnya yang secara nasional lebih berdaya guna dan berhasil guna bila dikelola pemerintah pusat; (2) pelimpahan kewenangan di bidang pemerintahan kepada daerah harus disertai dengan pembiayaan, sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana; (3) Pelaksanaan kewenangan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah didasarkan pada norma, standar, kritreria, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah; dan (4) perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang memberikan deskresi yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola sumber-sumber keuangannya.
Instrumen penting dalam manajeman keuangan daerah adalah anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dalam keseluruhan unsur sistem dan prosesnya; termasuk aspek-aspek penerimaan dan pengeluaran; dan keseluruhan siklus proses pengelolaannya (budget cycle) dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungan jawabannya.
Sesuai ketentuan Pasal 7, dan Pasal 70 UU No 22 Tahun 1999, keseluruhan tahapan dan kegiatan dalam pengelolaan anggaran tersebut harus mengacu pada norma, kriteria, standar, dan prosedur yang ditetapkan pemerintah yang essensinya adalah mengacu prinsip-prinsip good governance tersebut. Secara lebih spesifik hal ini berarti bahwa keseluruhan kegiatan dalam budget cycle harus dilakukan secara transparan, partisipatif, aspiratif, legitimatif, dan profesional; serta akuntabel, artinya harus jelas apa yang merupakan indikator dan besaran kinerja dari keseluruhan sistem dan proses anggaran tersebut, termasuk pada unsur-unsur penerimaan dan pengeluaran APBD antara lain seperti di bawah ini.
Penerimaan Daerah. Sesuai Undnag-undang Nomor 22 Tahun 1999, perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa kepada daerah diberikan kewenangan untuk memanfaatkan “sumber-sumber keuangan sendiri” (= pajak daerah dan retribusi daerah) dan didukung dengan “dana perimbangan keuangan pusat dan daerah” (= pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, sesuai dengan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah, dan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan dan tata cara penyelenggaraannya).
Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi antara lain meliputi: (1) pendapatan asli daerah (PAD), (2) dana perimbangan; bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah yang terdiri dari (a) bagian daerah dari PBB, (b) bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), (c) pajak penghasilan perseorangan (PPh), dan (d) penerimaan sumber daya alam (SDA); (e) dana alokasi umum (DAU); (f) dana alokasi khusus (DAK); (3) pinjaman daerah; dan (4) lain-lain penerimaan yang syah.
Adapun pembagian dana perimbangan berdasar Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tersebut menurut prosentasi bagi hasil antara pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) digambarkan pada Lampiran 1 (Tabel IV.15). Sedangkan besarnya pengeluaran negara (= alokasi APBN) untuk penyediaan dana perimbangan tersebut yang kemudian ditransfer kepada daerah (= pos penerimaan dalam APBD) digambarkan pada Lampiran 2 (Tabel IV.9).
Pada Lampiran 2 terlihat total dana APBN yang dialokasikan kepada daerah sebagai dana perimbangan pada APBN 2000 mencapai Rp 33, 5 triliun lebih (sekitar 3,7 % dari PDB), sekitar 22% dari Penerimaan Dalam Negeri atau sekitar 17,8 % dari keseluruhan Belanja Negara; dan pada APBN 2001 meningkat mencapai sekitar Rp 81,7 triliun (5,7 % dari PDB), menjadi sekitar 31% dari PDN atau sekitar 25,8% dari Belanja Negara. Besarnya dana perimbangan yang ditransfer ke daerah dan peningkatannya yang signifikan tersebut, mengakibatkan beban pengelolaan fiskal yang menjadi tanggung jawab daerah juga meningkat secara signifikan pula. Perubahan peta pengelolaan fiskal dari pusat ke daerah di mana daerah mempunyai fleksibilitas cukup tinggi bahkan deskresi penuh dalam pemanfaatan sumber-utama pembiayaan tersebut dikenal sebagai desentralisasi fiskal.
Besarnya dana perimbangan dari APBN yang dialokasikan pada APBD atau ditransfer ke daerah tersebut sekalipun sudah cukup signifikan dan penyebarannya sudah diupayakan berimbang (berdasar formula tertentu yang terus disempurnakan), namun dirasakan oleh beberapa daerah jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebab itu, beberapa daerah berkeinginan dan berupaya meningkatkan penerimaan dan anggaran pembangunan, baik melalui pajak dan retribusi baru maupun penerimaan bukan pajak dan bukan retribusi.
Komposisi penerimaan daerah provinsi dan kabupaten/kota dan perkembangannya dalam beberapa tahun yang lalu, untuk daerah provinsi digambarkan pada Lampiran 3 (Tabel V.1) dan untuk daerah kabupaten/kota digambarkan pada Lampiran 4 (Tabel V.2).
Pengeluaran Daerah. Pemanfaatan dana perimbangan terarah pada upaya (1) untuk mengatasi masalah vertical imbalance; dilakukan melalui bagian daerah dengan pemberian bagi hasil dari penerimaan perpajakan dan penerimaan SDA; (2) untuk mengatasi masalah horizontal imbalance; dilakukan melalui DAU, dan (3) untuk kebutuhan khusus daerah dan kepentingan nasional, termasuk untuk kegiatan reboisasi; dilakukan melaui DAK.
Perkembangan pengeluaran daerah provinsi baik untuk keperluan rutin mau pun pembangunan, komposisi pengeluaran rutin, dan alokasinya menurut provinsi baik untuk belanja rutin maupun pembangunan digambarkan pada Tabel V.3, Tabel V.25, Tabel V. 26, Tabel V. 28 dan V. 29 masing-masing pada Lampiran 5, 6, 7, 8 dan 9. Sedangkan untuk hal-hal yang sama pada daerah kabupaten dan kota digambarkan pada Tabel V.4, Tabel V.27, dan Tabel V.30, masing-masing pada Lampiran 10, 11, dan 12.
Dari Tabel V.3 dan Tabel V.25, serta dari Tabel V.4 dan Tabel V.27 terlihat bahwa baik untuk daerah provinsi maupun daerah kabupaten dan kota pengeluaran rutin masih lebih tinggi dari pengeluaran pembangunan, dan belanja pegawai menduduki porsi pengeluaran rutin terbesar dengan kondisi yang terus meningkat.
APBD merupakan unsur stratejik dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk mencapai tujuan realistis sesuai aspirasi, kebutuhan, potensi, dan perkembangan daerah. Ia berperan sebagai instrumen kebijakan dan program untuk mencapai berbagai tujuan dan sasaran pelayanan publik dan pembangunan daerah yang disusun dan dilaksanakan menurut prinsif-prinsif kepemerintahan yang baik yang berujung pada akuntabilitas publik (public accountability). Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah harus dipertanggungjawabkan baik langsung kepada atasan masing-masing, lembaga legislatif, mau pun kepada publik. Sebab itu pemantauan dan evaluasi kinerja perlu dilaksanakan secara sistematis dan berkelanjutan baik dalam rangka pengawasan internal, mau pun eksternal yang dilakukan oleh publik dan lembaga legislatif.
Dalam hubungan itu, manajemen pemerintahan dan pembangunan kita telah mengembangkan media yang penting dalam menjaga akuntabilitas pemerintahan, yaitu pertama sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dan pelaporan akuntabilitas kinerja (SAKIP dan LAKIP), dan laporan pertanggungjawaban kepala daerah (LPJ). Yang perlu kita perhatikan adalah korelasi antar keduanya, di samping kemungkinan persamaan dan perbedaan antar keduanya. Selain itu perlu pula diperhatikan hubungan antara Propeda dengan APBD sebagai wujud Repetada, dan peran rencana stratejik daerah (Renstrada) dalam keduanya.
Pada kesempatan ini saya ingin menekankan peran LPJ. LPJ dalam pandangan saya adalah merupakan media pertanggungjawaban ataupun pengendalian yang sejalan dengan nilai dan prinsip transparansi, profesionalitas dan akuntabilitas dari paradigma kepemerintahan yang baik (GG) yang lazim dikembangkan dalam sistem dan proses administrasi negara modern yang demokratis dan konstitusional. Dengan perkataan lain LPJ adalah suatu laporan pertanggungjawaban kepada publik (akuntabilitas publik) mengenai kinerja yang telah dicapai oleh seseorang Pejabat Pemerintahan tertentu, baik di Pusat maupun di Daerah, secara vertikal kepada atasannya langsung dan bermuara pada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, maupun secara horisontal kepada sesama lembaga pemerintahan khususnya lembaga legislatif maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam kedudukan mereka yang setara sebagai mitra pemerintahan; serta kepada masyarakat langsung sebagai pemilik kedaulatan negara.
Sebagai laporan pelaksanaan tugas dan pencapaian kinerja penyelenggaraan pemerintahan negara dan daerah, LPJ tersebut harus didasarkan kepada tolok ukur kinerja yang sebelumnya disepakati bersama sebagai produk kebijakan publik antara pihak eksekutif dengan pihak legislatif yang mewakili rakyat. Tanpa adanya kesepakatan mengenai tolok ukur kinerja kebijakan, program, dan kegiatan baik dalam penyelenggaraan pembangunan maupun pelayanan publik, bagaimana lembaga legislatif ataupun rakyat dapat menilai kinerja Kepala Daerah ataupun instansi pemerintah ?
Fenomena yang terjadi dewasa ini justru cenderung menunjukkan adanya arah yang asymetris dalam hal penilaian akuntabilitas publik, khususnya di daerah-daerah. Dari berbagai informasi yang saya ketahui permasalahan yang berkaitan dengan LPJ, ternyata bukan disebabkan oleh sistemnya yang salah, melainkan oleh sikap dan penafsiran yang salah mengenai fungsi LPJ tersebut. LPJ seharusnya dapat berfungsi sebagai bagian dari pembelajaran demokrasi, transparansi, partisipasi politik, profesionalitas, serta akuntabilitas publik bukan hanya bagi Kepala Daerah atau eksekutif daerah, melainkan juga bagi anggota legislatif daerah dan masyarakat. Mekanisme LPJ bukanlah ajang atau wahana politik untuk menjatuhkan Kepala Daerah yang tidak disukai oleh sebagian elit politik dan elit masyarakat lokal, tetapi justru sebagai wahana untuk mengendalikan agar penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan daerah, dan pelayanan kepada masyarakat tetap konsisten dengan arah dan tujuan otonomi daerah, dengan sasaran dan kebijakan yang telah disepakati DPRD selaku lembaga legislatif dan Pemerintah Daerah selaku lembaga eksekutif.
Kalaupun ada kekurangan dalam kinerja eksekutif daerah dalam mengemban amanat otonomi daerah tersebut, melalui mekanisme LPJ tersebut DPRD dapat berperan mengemban fungsi pengawasannya secara lebih efektif dan konstruktif dengan mengingatkan dan sekaligus menekan pihak eksekutif untuk melakukan berbagai perbaikan dan penyempurnaan yang diperlukan agar tercapai kinerja yang lebih optimal, sehingga berbagai aspirasi dan tuntutan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dapat lebih terakomodasikan dan terpenuhi.
Kalau di daerah memang terjadi hal-hal yang menyimpang sebagaimana sering kita dengar, maka merupakan peran masyarakat dan media massa untuk secara demokratis menggunakan haknya dalam mengawasi jalannya pemerintahan, di samping yang dilakukan oleh lembaga pengawasan lainnya. Selain itu, aparat penegak hukum juga harus berperan lebih aktif dalam mengusut dan menyelesaikan berbagai penyimpangan hukum dan praktek-praktek “new KKN” secara tuntas dan tanpa pandang bulu demi tegaknya supremasi hukum di Indonesia yang note bene adalah suatu Negara Hukum Yang Demokratis.
Liberalisasi perekonomian yang menandai gelombang globalisasi sejak dekade-dekade terakhir abad 20, serta krisis multi dimensi yang melanda kehidupan bangsa dan negara kita di awal abad 21 sekarang ini, bukan saja menuntut peningkatan efisiensi dan mutu pelayanan, tetapi juga kemampuan dalam pengelolaan kebijakan publik secara arif dan efektif ke arah pemulihan perekonomian, integrasi nasional, serta peningkatan ketahanan daya saing perekonomian bangsa. Oleh karena itu dinamika perkembangan tersebut mensyaratkan kompetensi yang tinggi, tanggung jawab yang besar dari seluruh unsur aparatur negara dan segenap warga negara, serta pemahaman yang mendalam mengenai posisi, peran, dan kewenangan masing-masing dalam sistem dan proses kebijakan serta dalam sistem administrasi negara kesatuan kita.
Sementara itu, otonomi daerah dengan desentralisasi kewenangan yang besar dan luas pada Kabupaten/Kota sebagai koreksi sentralisme kekuasaan masa lalu, yang diharapkan mampu meningkatkan tanggung jawab dan efisiensi, mutu, serta efektivitas pelayanan dan pengelolaan kebijakan, dalam prakteknya dewasa ini masih belum terselenggara secara memadai. “Euforia” demokrasi terasa juga mewarnai dinamika otonomi yang seakan menjauhi makna desentralisasi dan tanggung jawab otonomi dalam negara kesatuan. Kewenangan lokal seakan telah menghilangkan kewenangan koordinasi regional, sedangkan kewenangan sentral dianggap menyimpang dari semangat otonomi. Sebagai akibatnya yang bermunculan adalah fenomena-fenomena konflik kepentingan lokal yang melemahkan terwujudnya keserasian dan keterpaduan kebijakan (pada suatu daerah, antar daerah, dan antara kebijakan nasional dan daerah) yang diperlukan untuk mencapai cita-cita dan tujuan bangsa bernegara secara optimal. Semua itu menimbulkan kesan bahwa kita semua, seluruh unsur aparatur negara, telah mengabaikan atau melupakan keberadaan kita dan tanggung jawab kita masing-masing dalam SANKRI.
Dalam menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang demikian kompleks, diperlukan suatu dasar pendekatan bersama atau paradigma di mana setiap “stakeholders” dapat beranjak, dan selanjutnya menyusun strategi, program, dan instrumen-instrumen kebijakan untuk menghadapi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam SANKRI. Perencana-perencana pembangunan harus siap mengemban tugas itu.
Di samping harus memahami visi tentang masa depan bangsa, peka terhadap perkembangan lingkungan, memiliki kemampuan dan keariefan dalam pengelolaan perencanaan dan kebijakan publik, serta komitmen dan integritas tinggi terhadap perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa bernegara; perencanaan pembangunan di era otonomi dengan muatan desentralisasi yang nyata, luas, dan bertanggung jawab dewasa ini, dituntut bukan saja harus memiliki kompetensi dalam (a) lingkup permasalahan yang menjadi tanggung jawabnya secara baik dan utuh; tetapi juga memahami: (b) kompleksitas dan dinamika fenomena pembangunan yang dihadapi secara komprehensif, dan (c) keterkaitan antara “bidang atau wilayah” yang menjadi tanggung jawabnya dengan “bidang-bidang atau wilayah-wilayah” lainnya secara serasi dan proporsional.. Selain itu juga dituntut untuk memiliki kemampuan menumbuhkan kreativitas masyarakat; kemampuan interaktif dann kerjasama antar daerah, lembaga, bahkan antar bangsa; mampu mengembangkan “learning commitment” dan peningkatan pemberdayaan serta partisipasi masyarakat sesuai bidang tugas masing-masing.
Sebagai catatan penutup perlu sekali lagi ditekankan bahwa perencanaan pembangunan dalam mengembangkan berbagai langkah kebijakan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat bangsa, dan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa dalam bernegara, baik di pusat maupun di daerah-daerah, perlu memperhatikan antara lain prinsip-prinsip berikut.
Pertama, demokrasi dan pemberdayaan. Hidupnya demokrasi dalam suatu negara bangsa, dicerminkan oleh adanya pengakuan dan penghormatan negara atas hak dan kewajiban warga negara, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan mengekspresikan diri secara rasional sebagai wujud rasa tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa. Dalam pada itu, aparatur pemerintah dalam mengemban tugas pembangunan, tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi mengarahkan ("steering rather than rowing"), atau memilih kombinasi yang optimal antara steering dan rowing apabila langkah tersebut merupakan cara terbaik untuk mencapai kesejahteraan sosial yang maksimal. Yang jelas sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh masyarakat, jangan dilakukan oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari mereka belum mampu atau tidak berdaya, maka harus dimampukan atau diberdayakan (empowered). Pemberdayaan berarti pula memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan pembangunan.
Dalam rangka memberdayakan masyarakat dalam memikul tanggung jawab pembangunan, peran pemerintah dapat ditingkatkan antara lain melalui (a) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat, (b) perluasan akses pelayanan untuk menunjang berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan (c) pengembangan program untuk lebih mening-katkan keamampuan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat berperan aktif dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tambah tinggi guna meningkatkan kesejahteraan mereka.
Kedua, pelayanan. Upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani masyarakat ("a spirit of public services"), dan menjadi mitra masyarakat ("partner of society"); atau melakukan kerja sama dengan masyarakat ("co production"). Hal tersebut memerlukan perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik ("code of ethical conducts") yang didasarkan pada dukungan lingkungan ("enabling strategy") yang diterjemahkan ke dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah-daerah.
Pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang". Makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan pemerintahan negara, yang esensinya "melayani publik", harus benar-benar dihayati para penyelenggara pemerintahan negara.
Ketiga, transparansi dan akuntabilitas. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, di samping mematuhi kode etik, aparatur dan sistem manajemen publik harus mengembangkan keterbukaaan dan sistem akuntabilitas, serta bersikap terbuka untuk mendorong para pimpinan dan seluruh sumber daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan dan melembagakan kode etik dimaksud, serta dapat menjadikan diri mereka sebagai panutan masyarakat sebagai bagian dari pelaksanaan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan negara.
Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan, selain (1) memerlukan keterbukaan birokrasi pemerintah, juga (2) memerlukan langkah-langkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas dan otoaktivitas mereka, serta (3) memberi kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperanserta dalam proses penyusu-nan peraturan kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Pemberdayaan dan keterbukaan akan lebih mendorong akuntabilitas dalam pemanfaatan sumber daya, dan adanya keputusan-keputusan pembangunan yang benar-benar diarahkan sesuai prioritas dan kebutuhan masyarakat, serta dilakukan secara riil dan adil sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Keempat, partisipasi. Masyarakat diikutsertakan dalam proses menghasil-kan public good and services dengan mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan, dan bukan semata-mata dilayani. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat ("empowering rather than serving"), kepercayaan masyarakat harus meningkat, dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi ditingkatkan.
Konsep pemberdayaan ("empowerment") juga selalu dikaitkan dengan pendekatan partisipasi dan kemitraan dalam manajemen pembangunan, dan memberikan penekanan pada desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan agar diperoleh hasil yang diharapkan dengan cara yang paling efektif dan efisien dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam hubungan ini perlu dicatat pentingnya peranan keswadayaan masyarakat, dan menekankan bahwa fokus pembangunan yang hakiki adalah peningkatan kapasitas perorangan dan kelembagaan ("capacity building"). Jangan diabaikan pula penyebaran informasi mengenai berbagai potensi dan peluang pembangunan nasional, regional, dan global yang terbuka bagi daerah; serta privatisasi dalam pengelolaan usaha-usaha negara.
Kelima, kemitraan. Dalam membangun masyarakat yang modern di mana dunia usaha menjadi ujung tombaknya, terwujudnya kemitraan, dan modernisasi dunia usaha terutama usaha kecil dan menengah yang terarah pada peningkatan mutu dan efisiensi serta produktivitas usaha amat penting, khususnya dalam pengembangan dan penguasaan teknologi dan manajemen produksi, pemasaran, dan informasi.
Dalam upaya mengembangkan kemitraan dunia usaha yang saling meng-untungkan antara usaha besar, menengah, dan kecil, peranan pemerintah ditujukan ke arah pertumbuhan yang serasi. Pemerintah berperan dalam menciptakan iklim usaha dan kondisi lingkungan bisnis, melalui berbagai kebijakan dan perangkat perundang-undangan yang mendorong terjadinya kemitraan antarskala usaha besar, menengah, dan kecil dalam produksi dan pemasaran barang dan jasa, dan dalam berbagai kegiatan ekonomi dan pembangunan lainnya, serta pengintegrasian usaha kecil ke dalam sektor modern dalam ekonomi nasional, serta mendorong proses pertumbuhannya. Dalam proses tersebut adanya kepastian hukum sangat diperlukan.
Keenam, desentralisasi. Dalam Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, otonomi dilaksanakan dengan pelimpahan kewenangan yang luas kepada daerah Kabupaten/Kota, dan Daerah Provinsi berperan lebih banyak dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi, termasuk urusan lintas Kabupaten/Kota yang memerlukan penyelesaian secara terkoordinasi. Penguatan kelembagaan sangat diperlukan dalam mewujudkan format otonomi daerah yang baru tersebut, termasuk kemampuan dalam proses pengambilan keputusan. Ini adalah langkah yang tepat, sebab perubahan-perubahan yang cepat di segala bidang pembangunan menuntut pengambilan keputusan yang tidak terpusat, tetapi tersebar sesuai dengan fungsi, dan tangungjawab yang ada di daerah.
Karena pembangunan pada hakekatnya dilaksanakan di daerah-daerah, berbagai kewenangan yang selama ini ditangani oleh pemerintah pusat, diserahkan kepada pemerintah daerah. Langkah-langkah serupa perlu diikuti pula oleh organisasi-organisasi dunia usaha, khususnya perusahaan-perusahaan besar yang berkantor pusat di Jakarta, sehingga pengambilan keputusan bisnis bisa pula secara cepat dilakukan di daerah. Dengan kata lain desentralisasi perlu juga dilakukan oleh organisasi-organisasi bisnis.
Perbedaan perkembangan antardaerah mempunyai implikasi yang berbeda pada macam dan intensitas peranan pemerintah, namun pada umumnya masyarakat dan dunia usaha memerlukan (a) desentralisasi dalam pemberian perizinan, dan efisiensi pelayanan birokrasi bagi kegiatan-kegiatan dunia usaha di bidang sosial ekonomi, (b) penyesuaian kebijakan pajak dan perkreditan yang lebih nyata bagi pembangunan di kawasan-kawasan tertinggal, dan sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah yang sesuai dengan kontribusi dan potensi pembangu-nan daerah, serta (c) ketersediaan dan kemudahan mendapatkan informasi mengenai potensi dan peluang bisnis di daerah dan di wilayah lainnya kepada daerah di dalam upaya peningkatan pembangunan daerah.
Ketujuh, konsistensi kebijakan, dan kepastian hukum. Tegaknya hukum yang berkeadilan merupakan jasa pemerintahan yang terasa teramat sulit diwujudkan, namun mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, justru di tengah kemajemukan, berbagai ketidak pastian perkembangan lingkungan, dan menajamnya persaingan. Peningkatan dan efisiensi nasional membutuhkan penyesuaian kebijakan dan perangkat perundang-undangan, namun tidak berarti harus mengabaikan kepastian hukum. Adanya kepastian hukum merupakan indikator professionalisme dan syarat bagi kredibilitas pemerintahan, sebab bersifat vital dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, serta dalam pengembangan hubungan internasional. Tegaknya kepastian hukum juga mensyaratkan kecermatan dalam penyusunan berbagai kebijakan pembangunan. Sebab berbagai kebijak-sanaan publik tersebut pada akhirnya harus ditungkan dalam sistem perundang-undangan untuk memiliki kekuatan hukum, dan harus mengandung kepastian hukum.
Dalam era globalisasi, dalam ekonomi yang makin terbuka, meskipun untuk meningkatkan efisiensi perekonomian harus makin diarahkan kepada ekonomi pasar, namun intervensi pemerintah harus menjamin bahwa persaingan berjalan dengan berimbang, dan pemerataan terpelihara. Yang terutama harus dicegah terjadinya proses kesenjangan yang makin melebar, karena kesempatan yang muncul dari ekonomi yang terbuka hanya dapat dimanfaatkan oleh wilayah, sektor, atau golongan ekonomi yang lebih maju. Peranan pemerintah makin dituntut untuk lebih dicurahkan pada upaya pemerataan. Penyelenggara pemerintahan negara harus mempunyai komitmen yang kuat kepada kepentingan rakyat, kepada cita-cita keadilan sosial.
Untuk itu, keserasian dan keterpaduan antar berbagai kebijakan pemba-ngun¬an harus diupayakan baik pada tingkat nasional maupun daerah. Pengentasan kemis¬kinan, kesenjangan, peningkatan kualitas sumber daya manusia pembangu-nan, dan pemeliharaan prasarana dasar, serta peningkatan kuantitas, kualitas, dan diversifikasi produksi yang berorientasi ekspor ataupun yang dapat mengurangi impor harus pula dijadikan prioritas dalam agenda kebijakan pembangunan nasional dan daerah. Upaya mendasar di bidang industri dan perdagangan perlu mendapatkan perhatian khusus, dan diarahkan untuk memperkuat basis ekonomi dan daya saing, agar memberikan dampak positif dalam persaingan global yang juga berlangsung di tengah kehidupan masyarakat kita di seluruh wilayah tanah air.
Pemerintah melalui berbagai perangkat kebijakan makro ekonomi yang tepat, dan berbagai kebijakan lainnya di sektor riil, disertai pembenahan kelembagaan yang mantap akan dapat mendorong peningkatan efisiensi, produktivitas, pemerataan alokasi dan pemanfaatan sumber daya ekonomi. Selain itu, melalui kebijakan anggaran, aparatur pemerintah harus dapat mengarahkan dan memperlancar aliran sumber daya untuk mendorong pemberdayaan, pemerataan dan pertumbuhan, penguasaan iptek, dan pengembangan sistem manajemen modern seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya berbagai upaya ini perlu dilakukan secara mantap untuk memperkuat daya saing ekonomi nasional, mendorong demokratisasi kehidupan perekonomian, memantapkan stabilitas nasional yang dinamis, memperkokoh posisi neraca pembayaran, meningkatkan ketahanan nasional dan daya saing perekonomian bangsa dalam arena persaingan dunia

Posted by pihaihenews 2011-12-21 Labels: masyarakat